Seluruh keberhasilan pertempuran, bahkan perang, dimenangkan
oleh perang intelijen.
Beberapa pekan belakangan, media Indonesia dihebohkan
oleh berita penyadapan telpon pribadi
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Ibu Negara Ani Yudhoyono, dan
lingkaran dalam pembantu Presiden.
Setelah melalui drama tiga babak yang cukup menegangkan,
insiden berakhir dengan kesepahaman kedua pihak untuk mengatur kembali, bahkan
membuat baru semacam protokol kerjasama bilateral.
Walaupun tidak ada permohonan maaf dari Australia dan janji
untuk tidak mengulangi penyadapan seperti yang dilakukan oleh Amerika kepada
Jerman yang kepala pemerintahannya juga mengalami penyadapan, tampaknya solusi
ini dianggap cukup memuaskan.
Sesungguhnya sadap menyadap antar negara sudah berlaku sejak
lama. Kepala Negara maupun Kepala Pemerintahan sebagai pengambil kebijakan dan
keputusan strategis penting Negara,
tentunya merupakan sumber utama yang akan menjadi sasaran penyadapan.
Saat berita jarak jauh masih dikirim melalui burung merpati,
penyadapan antara raja dan panglima perangnya dilakukan dengan menangkap
merpati pos untuk menganalisa niat dan gerakan lawan.
Setelah komunikasi elektromagnetik berkembang, maka
berkembang pula apa yang disebut Signal Intelligent, Communication
Intelligence, Measurement and Signature Intelligence (MASINT) yang kemudian
berkembang menjadi Electronic Intelligence (ELINT).
Sejarah mengajarkan bahwa seluruh keberhasilan pertempuran,
bahkan perang, dimenangkan dengan dukungan keberhasilan perang intelijen.
Diakui oleh Winston Churchill keberhasilan peperangan elektronik Inggris yang
mendukung dapat dicegahnya kehancuran Inggris dalam Perang Dunia II dengan
antara lain menyatakan: “Di balik peperangan fisik yang dahsyat antara Inggris
dan Jerman, ada konflik lain yang terjadi, selangkah demi selangkah, bulan
kebulan. Ini adalah perang rahasia, dan
tanpa keberhasilan mereka, Inggris telah dikalahkan, dan dihancurkan”.
Sesungguhnya inti dari intelijen bukan hanya mengetahui
kekuatan, komposisi, posisi lawan atau calon lawan, tetapi juga mengenai niat
dan rencana lawan. Inti dari taktik adalah surprise, mobility danfire
power.
Keberhasilan Jepang pada serangan Pearl Harbour adalah
karena faktor surprise, akibat kegagalan intelijen Amerika. AS tahu bahwa Jepang akan melakukan serangan
terhadap Amerika, namun Intelijen AS tidak
berhasil meramu informasi menjadi intelijen tentang kapan dan dimana
Jepang akan menyerang.
Kegagalan Wolfpack Tactic milik Jerman menghancurkan konvoi
kapal angkut logistik perang Inggris disebabkan penemuan High Frequency
Direction Finder, yang membuat komunikasi radio kapal selam Jerman dapat
disadap angkatan laut Sekutu sehingga serangan Jerman dapat diantisipasi dan
ditangkis oleh kapal perang Sekutu.
Dalam perkembangan selanjutnya, penemuan Radar mengakibatkan
kapal selam Jerman banyak yang ditenggelamkan sehingga kekuatan kapal selam
Jerman lumpuh.
Pertempuran Laut Midway yang merupakan titik balik Perang
Pasifik dalam Perang Dunia II disebabkan keberhasilan intelijen angkatan laut
AS yang berhasil menyadap komunikasi angkatan laut Jepang. Melalui usaha yang
tidak kenal lelah dan metode yang cerdas, orisinil dan inovatif, angkatan laut Amerika
mengetahui gerakan armada Jepang, khususnya tentang gugus tempur angkatan laut
dan gugus serang Jepang dalam jumlah besar yang akan bergerak menuju Pulau
Midway.
Amerika mengirim armadanya yang relatif kecil untuk
menghadang. Namun, faktor surprise yang dimiliki AS menyebabkan upaya
penaklukan pulau yang sangat strategis tersebut oleh Jepang menjadi gagal.
Mengapa Australia Menyadap Indonesia?
Malcolm Fraser, Perdana Menteri Australia tahun 1975-1983
dalam artikelnya tanggal 21 Oktober 2013 yang berjudul "Can Australia
claim to be a sovereign nation?” mengingatkan bahwa perhatian Amerika yang
lebih besar di Samudera Pasifik adalah berita
buruk bagi Australia.
Lebih lanjut Malcolm mengeluhkan ketergantungan Australia
terhadap kebijakan luar negeri Amerika, yang telah membawa Australia ke dalam
tiga perang besar, yaitu; Perang Vietnam, Perang Irak dan Perang di Afganistan
yang telah dan akan berakhir dengan kegagalan.
Konsekuensinya, ketiga wilayah
tersebut berada dalam kondisi yang jauh lebih buruk dan pengaruh Amerika di
sana sangat menurun.
Saat ini memang perhatian Amerika tertuju ke Pasifik,
khususnya Asia Pasifik. Diakui atau tidak, dunia kembali mengalami perang
dingin. Kalau dulu antara Amerika dan UniSovyet, sekarang Amerika kembali melakukan
kebijakan “containment” terhadap China.
Dengan dalih bahwa China menjadi lebih menekan, bahkan
agresif, Amerika meningkatkan kehadirannya di Asia Pasifik dengan penempatan
kekuatan baik permanen maupun semi permanen, dan mengadakan perjanjian dengan
negara sekitar China terutama dengan Jepang dan Australia, bahkan Pilipina dan
Singapura.
Penempatan 2.500 pasukanMarinir AS di Darwin dan penggunaan
informasi yang diperoleh di Pine Gap bukan hanya menunjukkan ketelibatan
Australia sebagai subordinasi kebijakan luarnegeri Amerika Serikat, termasuk
dan terutama di Asia Pasifik, namun juga berkaitan dengan kepentingan nasional
mereka yang mungkin salah arah.
Australia selalu mengatakan bahwa musuh mereka ada di Utara,
yang berarti melalui Indonesia, dan tentunya bukan oleh Indonesia yang selalu
mengedepankan harmoni dan perdamaian dunia.
Pine Gap adalah nama yang umum diberikan untuk stasiun
pengamat dan penjejak satelit yang terletak 18 Km di Barat Daya Kota Alice
Springs di Australia Tengah, yang dioperasikan bersama oleh Amerika dan
Australia dimulai pada tahun 1970.
Fasilitas yang berupa stasiun pengendali dan memproses data
tersebut melakukan signals intelligence yang antara lain mengumpulkan data
empat sinyal, antara lain telemetri pengembangan persenjataan terutama peluru
kendali, sinyal anti peluru kendali dan anti pesawat terbang, transmisi
komunikasi satelit dan pancaran gelombang microwave seperti panggilan telpon
jarak jauh.
Dengan demikian jelaslah bahwa Australia melakukan
penyadapan terhadap Indonesia dalam konteks kepentingan kebijakan luar negeri
AS di Asia Pasifik. Namun tentu tidak terlepas dari kepentingan Australia
sendiri. Sebuah pertanyaan yang mendasar
dan belum mendapat jawaban yang memuaskan, penempatan 2.500 marinir AS di Darwin
yang sangat jauh dari China sehingga kurang masuk akal kalau itu dikatakan
untuk menghadapi kontingensi dengan China.
Kemampuan Intelijen dan Ajakan Pada Australia
Bagaimanapun, kejadian ini member pelajaran kepada kita
untuk memperkuat kemampuan Electronic Support Measure maupun Electronic Counter
Measure, dimulai dari disiplin pribadi untuk tidak membicarakan rahasia negara
melalui saluran komunikasi yang tidak aman dan memelihara serta menjaga dokumen
rahasia negara dengan baik sesuai klasifikasinya.
Bagi Australia, menarik untuk menyimak ajakan Malcolm Fraser
yang menyatakan:”We (Australia) must find a way to reassert our own
Sovereignty“. Memang, sudah saatnya Australia memiliki kebijakan luar negeri
yang berdaulat dan mandiri.
Sesuai letak geografinya, Australia perlu menjadi negara
yang akrab, jujur dan kooperatif, mendukung keamanan, persatuan dan
persaudaraan negara-negara Asia (Tenggara) bersama ASEAN, dan menjadikan
Indonesia yang merupakan penjuru di kawasan sebagai sahabat terpercaya.
*Penulis adalah Laksamana Muda TNI (Purn), Gubernur Sumsel
1998-2013, President United in Diversity Forum, Direktur Eksekutif Institute
for Maritime Studies dan Advisory Board Conservation International Indonesia.
Sumber : http://www.shnews.co
Sumber : http://www.shnews.co
Categories:
Topik